Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lanjutan Cerita Pilu Sore Itu...

 Pembaca masih ingat cerita tentang seorang anak yang saya tulis di blog ini dengan judul Cerita Pilu di Balik Derasnya Hujan Sore Itu? Saya berbicara dengan anak tersebut kurang lebih 1 tahun yang lalu. Dan hari ini ternyata ada lanjutan kisah dari anak tersebut. Kisah yang cukup membuat gaduh di wilayah kecamatan, bahkan kabupaten.

Memang bukan kisah manis, bahkan mungkin aib bagi madrasah dan Kementerian Agama. Tapi ini perlu saya jadikan catatan dan sekaligus pelajaran betapa pentingnya peran keluarga dalam membentuk generasi yang tangguh, bertanggungjawab, unggul dan berkualitas.


Tepatnya tanggal 28 Oktober 2023 sore sekitar pukul 15.00 WIB, ada peristiwa di mana ada 2 kelompok anak-anak SMP yang akan melakukan tawuran. Masing-masing kelompok adalah gabungan dari beberapa sekolah yang membentuk aliansi. Bukan murni tawuran sebenarnya, tapi dimulai dari event tanding futsal antar sekolah, yang sayangnya merupakan inisiatif anak-anak sendiri tanpa pendampingan guru.

Nah…apes bagi R (sebut saja begitu, anak yang ada dalam kisah ini dan kisah sebelumnya), ketika terjadi konvoi di jalan dan berpapasan dengan lawan, motor yang ditumpangi dengan kawannya jatuh. Dia berada di belakang. Yang di depan adalah anak SMP yang belum lama dikenalnya.

Pada saat jatuh itulah, dia terlihat dalam sebuah CCTV yang beredar juga menurut kesaksian warga, memegang sebuah senjata berupa celurit. Maka diamankanlah dia. Warga sudah berkumpul dengan penuh emosi di lokasi dimana dia jatuh dan memegang senjata. Emosi warga ini bukan tanpa alasan. Kejahatan jalanan di wilayah ini cukup sering terjadi bahkan kadang sampai merenggut nyawa. Dan pelakunya adalah anak-anak seusia SMP-SMA. Beruntung, waktu itu ada polisi berpakaian preman yang melindungi dia agar tidak dimassa.

Akhirnya R ini dibawa ke polsek. Sendiri. Karena teman yang memboncengkan dia ketika ditanya warga dia bilang kalo motoran sendiri. Akhirnya temannya bisa bebas. Itulah…pada saat genting semua cari selamat masing-masing, padahal awalnya mereka bersama-sama, menurut keterangan polisi sekitar 30 anak dengan 15 motor.

Peristiwa itu terjadi hari Sabtu sore, tapi malam hari sudah ramai di medsos. Bahkan jam 11 malam saya ditelpon dari polsek. Kabar yang beredar, anak MTs ada yang terlibat kejahatan jalanan dan tertangkap bawa sajam. Itu juga yang ditulis di beberapa media online. Tentu saja saya belum bisa berbuat apa-apa karena sudah larut, dan besoknya adalah hari Ahad.

Pembaca… saya langsung mengingat-ingat sosok R ini. Dari cerita dia bahwa bapak ibunya bercerai, tidak ada yang mendampingi dia tumbuh, dan dia tinggal hanya dengan neneknya. Tapi yang saya ingat, di madrasah dia tidak pernah punya masalah serius. Bahkan setiap ketemu saya dia mendekat dan salaman. Apa yang membuat dia sampai terlibat dalam peristiwa mengerikan ini? Saya simpan penasaran saya sampai pagi.

Hari Senin tiba. Saya menduga R ini pasti tidak akan masuk sekolah, sebab dia baru saja dibawa ke polsek dan kabar tentang dia sudah tersebar kemana-mana. Pasti ada rasa malu dan bersalah bahwa dia sudah mencoreng nama madrasah.

Ternyata saya salah…dia masuk sekolah. Kebetulan hari itu saya yang memimpin pembiasaan shoat dhuha beserta rangkaiannya. Ketika saya berbalik untuk memimpin doa, saya lihat ada R ini di barisan kedua. Terus terang saya agak kaget. karena dia cukup tenang seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

 

Selesai sholat dhuha, saya panggil dia. Saya korek informasi tentang kejadian kemarin. Bagaimana kronologinya, sama siapa saja, dan berapa siswa madrasah yang terlibat dalam kasus ini. Sengaja saya tangani sendiri proses ini, karena saya mengkhawatirkan kondisi psikis dia ketika ditangani guru lain yang mungkin bisa saja menggunakan bahasa dan gestur yang agak keras. Saya tetap menggunakan asas praduga tak bersalah, dan prinsip bahwa semua siswa itu BAIK, hanya levelnya saja yang berbeda-berbeda.

Akhirnya keluarlah keterangan dari dia. Yang pada intinya :

-          Hanya ada 2 siswa yang terlibat dalam kasus ini. Tapi 1 siswa ini hanya ikut bermain futsal, tapi tidak ikut konvoi.

-          Peserta konvoi dari dari SMP lain cukup banyak, paling tidak ada 3 SMP yang terlibat dalam aliansi ini.

-          Sajam yang dia pegang bukan punya dia, tapi hasil pungut dari jalan ketika dia melihat ada sajam yang dibuang (atau jatuh) oleh kelompok lain. (Poin ini sudah ditindaklanjuti polsek untuk diteliti).

-          Dia ( R ) ini satu-satunya siswa yang wajib lapor, karena statusnya tersangka.

-          R ini baru pertama kali ini ikut gabung dengan kelompok ini, itupun karena diajak oleh teman sekampungnya yang sekolah di SMP.

Begitulah, apa yang dia ceritakan. Dan saya masih berkeyakinan bahwa apa yang disampaikan adalah benar, sebab dia bisa bercerita dengan runtut menuturkan kronologi tanpa tersendat.

 

Pembaca, menurut anda bagaimana respon dari para guru?

Ketika mereka mendengar kasus ini, respon tercepat dan paling populer adalah “Keluarkan” anak ini. Karena mereka menganggap anak ini sudah bikin jelek nama madrasah. Karena 1 siswa, seluruh madrasah kena. Ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga.

Tidak ada yang menyampaikan secara langsung kepada saya, tapi melalui waka yang menanganinya. Bagaimana sikap saya?

Saya memilih untuk mempertahankan dia, karena dia masih ingin tetap sekolah.

Mengapa saya memberi kesempatan ini kepada dia?

Pertama, saat ini anak tersebut pasti kondisi psikisnya sangat kacau. Saya tidak ingin lebih memperparah lagi.

Kedua, dia sudah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, yang entah sampai kapan prosesnya masih akan terus berjalan. Tentu ini bisa menjadi pelajaran juga untuk yang lain. Saya ingin dia menjadi duta anti kekerasan dan geng-gengan yang baru marak, bagi temen-temannya di madrasah.

Ketiga, saya yakin madrasah menjadi tempat terbaik saat ini untuk dia. Jika dia dikeluarkan dan pindah ke sekolah, tentu hanya sekolah tertentu yang mau menerima siswa pindahan dengan ‘catatan’. Dan biasanya tidak lebih baik dari sekolah asal.

 

Pembaca yang budiman, apa yang ingin saya sampaikan adalah… betapa penting peran keluarga dalam pendidikan seorang anak. Kita tidak mungkin mengharapkan anak kita baik, jika keluarga dan kita sendiri tidak memperbaiki diri kita. Sulit membayangkan bagaimana sedihnya seorang anak ketika melihat bapak ibunya tidak harmonis di saat berada di rumah.

 

Mari kita siapkan anak-anak kita dengan baik, dimulai dari rumah kita sendiri…

Mas Guru
Mas Guru Pendidik & Pengajar di MTsN 1 Yogyakarta. Sebelumnya di : MTsN 2 Bantul MTsN 5 Bantul MTsN 7 Bantul

Posting Komentar untuk "Lanjutan Cerita Pilu Sore Itu..."